BAB
I
PENDAHULUAN
1.1Latar
Belakang
Kata
moral berasal dari bahasa latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti
kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran
kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan.Moralitas adalah sistem
nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem
nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuahpetuah, nasihat, wejangan,
peraturan, dan semacamnya, yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama
atau kebudayaan tertentu tentang bagaimanamanusia harus hidup secara baik, agar
ia benar-benar menjadi manusia yang baik. Moralitas juga memberi manusia aturan
atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini
sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang
tidak baik. Ada perkataan lain yang mengungkapkan kesusilaan yaitu etika.
Perkataan etika berasal dari bahasa yunani:
ethos dan ethikos yang berarti
kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dari W.J.S
Poerwadarminto(dalam Salam 2000:2),
terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik-buruk perbuatan dan kelakuan, sedangkan etika
adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dari beberapa
keterangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian
yang sama dengan kesusilaan, yaitu memuat ajaran tentang baik buruknya
perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau
perbuatan yang buruk. Penilaian itu menyangkut perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja. Memberikan penilaian atas perbuatan dapat disebut memberikan penilaian
etis atau moral. Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia
dengan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan manusia itu.
Berkaitan
dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan seseorang sangatlah perlu untuk
menjaga profesi di kalangan masyarakat atau terhadap konsumen. Dengan kata lain
orientasi utama profesi adalah untuk kepentingan masyarakat dengan menggunakan
keahlian yang dimiliki. Akan tetapi tanpa disertai suatu kesadaran diri yang
tinggi, profesi dapat dengan mudahnya disalahgunakan oleh seseorang. Sehingga
perlu pemahaman atas prinsip moral dasar untuk melaksanakan kode etik profesi.
1.1.1 Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa saja prinsip-prinsip moral dasar?
1. Apa saja prinsip-prinsip moral dasar?
2. Apa
tujuan dari prinsip moral dasar?
1.1.2 Tujuan
Penulisan
·
Mengetahui dan mengenal prinsip-prinsip
moral dasar
BAB
II
PEMBAHASAN
2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Moral
Untuk
mengukur tindakan manusia secara moral, tolak ukurnya adalah Prinsip-Prinsip
Moral Dasar, berikut ini adalah prinsip-prinsip dari moral dasar tersebut :
2.2.1 Prinsip Sikap Baik
Sikap yang
dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap
positif dan baik. Seperti halnya dalam prinsip utilitarisme, bahwa kita harus
mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk
sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita, kecuali ada
alasan khusus, tentunya kita harus bersikap baik terhadap orang lain. Prinsip
moral dasar pertama disebut prinsip sikap baik. Prinsip ini mendahului dan
mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar
bagi kehidupan manusia.
Sebagai prinsip dasar etika, prinsip
sikap baik menyangkut sikap dasar manusia yang harus memahami segala sifat
konkret, tindakan dan kelakuannya. Prinsip ini mengatakan bahwa pada dasarnya,
kecuali ada alasan khusus, kita harus mendekati siapa saja dan apa saja dengan
positif, dengan menghendaki yang baik bagi dia. Artinya, bukan semata-mata
perbuatan baik dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap orang
lain, kemauan baik terhadapnya. Bersikap baik berarti, memandang seseorang dan
sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi dirinya, melainkan menghendaki, menyetujui,
membenarkan, mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang perkembangannya
(Suseno, 1989:131). Bagaimana sifat baik itu harus dinyatakan secara konkret,
tergantung pada apa yang baik dalam situasi konkret itu. Maka prinsip ini
menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realitas, supaya dapat diketahui apa
yang masing-masing baik bagi yang bersangkutan. Prinsip sikap baik mendasari
semua norma moral, karena hanya atas dasar prinsip itu, maka akan masuk akal
bahwa kita harus bersikap adil, atau jujur, atau setia kepada orang lain
2.2.2 Prinsip Keadilan
Prinsip
kebaikan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa saja. Tetapi
kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, tidak hanya
berlaku bagi benda-benda materiil, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta
kasih. Kemampuan untuk memberi hati kita juga terbatas. Maka secara logis
dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus
dibagi. Prinsip itu adalah prinsip keadilan. Adil pada hakikinya berarti bahwa
kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Karena pada
hakekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling
dasariah keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam
situasi yang sama (Suseno,1989:132).
Jadi prinsip
keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap
semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak
semua pihak yang bersangkutan. Secara singkat, keadilan menuntut agar kita
jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk hal yang baik, dengan melanggar hak
seseorang. Sebagai contoh pada sebuah kasus orang yang bersalah mencuri ayam
akan diberikan sanksi atau denda,sedangkan yang tidak bersalah akan dibebaskan.
2.2.3 Prinsip
Hormat Terhadap Diri Sendiri
Prinsip
ini menyatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai
sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa
manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki
kebebasan dan suara hati, mahluk yang berakal budi (Suseno, 1989:133). Prinsip
ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut agar kita tidak membiarkan diri
diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan tersebut tidak wajar untuk kedua
belah pihak, maka yang diperlakukan demikian jangan membiarkannya berlangsung
begitu saja apabila ia dapat melawan, sebab kita mempunyai harga diri. Dipaksa
untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar. Kedua, kita jangan
sampai membiarkan diri terlantar. Manusia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya
sendiri, berarti bahwa kewajibannya terhadap orang lain diimbangi oleh
perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri.
Sebagai kesimpulan,
kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain, perlu diimbangi
dengan sikap yang menghormati diri kita sendiri
sebagai mahluk yang bernilai pada dirinya sendiri.
Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi
tidak dengan membuang diri.
3. Pendalaman
Sesudah kita melihat tiga prinsip moral dasar yang
kita saring dari pembahasan teori-teori etika dalam bab delapan, masih ada
beberapa segi yang dapat kita pertanyakan. Pertama, bagaimana hubungan antara
tiga prinsip itu?
a. Hubungan antara tiga prinsip dasar
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa prinsip
keadilan dan hormat pada diri sendiri merupakan syarat pelaksanaan sikap baik,
sedangkan prinsip sikap baik menjadi dasar mengapa seseorang bersedia untuk
bersikap adil.
Bahwa keadilan dan hormat terhadap dirinya sendiri
merupakan prasyarat bagi pelaksanaan kebaikan berarti bahwa berbuat baik dengan
melanggar keadilan atau dengan melupakan harga diri secara moral tidak dapat
dibenarkan. Sikap hati memang selalu harus baik dan antara sikap hati yang baik
dengan tuntutan keadilan tidak mungkin ada pertentangan. Tetapi dalam
menentukan bagaimana sikap hati diwujudkan dalam tindakan berlaku bahwa saya
hanya boleh berbuat baik sejauh tidak melanggar keadilan. Saya boleh menaikkan
upah seorang buruh asal saja dengan demikian upah buruh-buruh lainnya tidak
dikurangi. Saya boleh membantu orang miskin, tetapi tidak dengan melanggar hak
milik orang lain. Maka keadilan merupakan syarat bagi pelaksanaan kebaikan.
Namun dapat dibayangkan bahwa dalam suatu kasus konkret tuntutan keadilan wajib
saya kalahkan terhadap tuntutan belas kasihan. Tetapi sebaliknya juga berlaku
bahwa keadilan tanpa sikap hati yang baik secara moral menjadi dingin dan
kehilangan mutunya. Begitu pula kita tidak perlu membiarkan diri kita hancur
hanya demi orang lain atau demi suatu tuntutan keadilan.
Dalam kehidupan nyata sikap dan tindakan kita
hendaknya sesuai dengan tiga prinsip dasar itu. Tetapi bagaimana pembobotan
prinsip masing-masing, apa yang harus kita pilih apabila terjadi tabrakan
antara dua prinsip, tidak dapat diputuskan secara teoritis belaka. Kita harus
ingat apa yang kita pelajari dari Etika Situasi, yaitu bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral yang teoritis tidak pernah mencukupi untuk
menentukan seratus persen apa yang harus dilakukan seorang dalam situasi
konkret. Selalu ada ruang ketidakpastian yang hanya dapat diisi oleh orang yang
bersangkutan berdasarkan suara hatinya. Dalam bahasa para ahli etika dikatakan
bahwa norma-norma dan prinsip-prinsip moral hanya berlaku prima facie, artinya sejauh tidak ada pertimbangan tambahan yang
menuntut penilaian khusus.
Akan tetapi ada sebuah prinsip atau patokan yang
dapat sedikit membantu kita apabila kita ingin mengatur pelbagai sudut yang
masuk ke dalam pertimbangan tentang kewajiban dan tanggung jawab kita. Yang
saya maksud adalah prinsip keseimbangan atau proporsionalitas. Prinsip itu mengatakan bahwa antara yang
dikorbankan dan yang diutamakan harus ada keseimbangan bobot. Makin sepele
pelanggaran keadilan dan makin besar kerugian orang lain yang bisa dicegah,
tetapi dengan hanya melanggar keadilan, makin besar juga kemungkinan bahwa saya
harus mendahulukan pencegahan kerugian itu terhadap keadilan. Begitu juga tidak
wajib, bahkan tidak wajar apabila saya secara serius merugikan kemungkinan
pengembangan diri saya demi suatu kebaikan yang tidak begitu perlu. Misalnya
saja, saya sudah mengadakan janji akan mengunjungi teman yang sering saya
kunjungi, tetapi secara tiba-tiba saya diajak ikut konser, sebuah orkes
internasional yang hanya hari ini main, maka tidak seimbang apabila saya karena
keterikatan pada janji terhadap teman
(tuntutan keadilan) menolak undangan itu, mengingat janji itu dalam hal
yang amat sepele dan biasa. Begitu pula tidak masuk akal kalau saya temani ibu
saya yang sudah lama sakit dan dengan demikian tidak dapat bertemu dengan orang
yang mau mempromosikan karir saya.
b. Dua tingkatan realitas
Apabila kita membandingkan prinsip keadilan dengan
prinsip hormat terhadap diri sendiri, kita melihat bahwa ada dua prinsip itu
sebenarnya bukan dua melainkan satu prinsip saja, yaitu prinsip hormat terhadap manusia sebagai persona. Prinsip hormat
terhadap persona yang untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Immanuel Kant
mengatakan bahwa kita harus memperlakukan setiap manusia, karena ia bersifat
persona, sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Diarahkan pada orang lain prinsip
itu berarti bahwa kita harus memperlakukannya dengan adil, jadi bahwa
hak-haknya tidak boleh dikorbankan demi tujuan-tujuan lain dan bahwa semua
orang, justru sebagai persona, harus diperlakukan dengan sama. Terhadap diri
kita sendiri prinsip itu memuat kewajiban untuk jangan membiarkan diri
terlantar atau diperkosa. Prinsip ini mencerminkan suatu keyakinan sangat umum
dalam filsafat barat yang mengutamakan manusia terhadap alam lain: sebagai
makhluk yang berakal budi atau ber-logos
(= ”daya pikir” dalam bahasa Yunani) manusia berpartisipasi pada keterbatasan
Ilahi dan oleh karena itu merupakan nilai pada dirinya sendiri.
Bahwa prinsip sikap baik dan prinsip hormat
terhadap persona fundamental sifatnya juga kelihatan apalagi kita
mempertimbangkan lingkup dua prinsip itu. Prinsip sikap-baik rupa-rupanya
berlaku bagi segenap makhluk yang ada, tidak hanya bagi manusia. Terhadap binatang
dan tumbuh-tumbuhan kita dengan sendirinya diharapkan bersikap baik. Tentu
saja, dunia bukan manusia boleh saja dimanfaatkan demi manusia. Prinsip
sikap-baik pun berlaku prima facie, maka tidak perlu kita bersikap baik
terhadap alam apabila itu bertabrakan dengan kepentingan manusia. Tetapi
menyiksa binatang tanpa alasan yang masuk akal, misalnya karena hanya orang
senang berbuat demikian, secara moral dianggap tidak beres. Bahkan terhadap
tumbuhan ada sesuatu yang analog dengan kewajiban. Bayangkan ada orang yang
berhadapan dengan setangkai bunga anggrek di tengah-tengah hutan. Kalau ia merusakkannya tak ada manusia
lain yang akan rugi. Namun, seandainya tak ada maksud ilmiah tertentu dan tak
ada pula maksud untuk membawanya pulang ke rumah, andaikata orang itu tidak
pula marah-marah dan perlu melepaskan agresinya (yang lebih wajar kalau
dilepaskan terhadap setangkai bunga daripada terhadap orang lain) dan juga
tidak ada dorongan untuk main-main, seperti misalnya kita memenggal bunga-bunga
dengan tongkat, jadi andaikata tak ada alasan sedikit pun untuk menghancurkan
dan juga untuk tidak menghancurkannya, bukankah kita akan mengharapkan agar
bunga anggrek itu dibiarkan berkembang terus? Bukankah kita akan mendapat kesan
kurang baik kalau orang itu menghancurkannya juga? Jadi rupa-rupanya prinsip
sikap-baik berlaku terhadap apa saja yang ada, walaupun sesuai dengan
kedudukannya dalam dunia manusia yang berbeda-beda.
Tetapi prinsip hormat terhadap persona hanya
berlaku bagi manusia saja. Kita dapat mengharapkan agar orang bersikap baik
terhadap seekor anjing tetapi tidak agar ia bersikap adil terhadapnya. Tak
masuk akal sama sekali menuntut keadilan terhadap binatang. Perlakuan yang
tidak sama terhadap binatang tidak dianggap apa-apa, asal jangan sampai melanggar
prinsip sikap-baik. Jadi keadilan hanya dapat dituntut terhadap manusia dan
terhadap segala makhluk yang berakal budi. Seandainya alat-alat negara
menangkap seorang ”manusia” dari planet Mars karena ia mengganggu
penduduk-penduduk kota, manusia Mars itu tentu berhak atas perlakuan yang adil
dan pengadilan yang wajar.
Jadi antara dua prinsip itu memang terdapat
perbedaan hakiki: prinsip sikap-baik berlaku terhadap apa saja yang ada,
prinsip hormat terhadap persona hanya terhadap makhluk yang berakal budi.
Maka rupa-rupanya ada dua prinsip dasar itu
menunjuk kepada sesuatu yang lebih mendasar lagi. Rupa-rupanya prinsip sikap-baik berdasarkan kesadaran
bahwa apa saja yang ada, karena adanya itu saja, pantas kita dukung, kita
majukan, kita beri kesempatan untuk berkembang, pendek kata, bahwa apa saja
yang ada adalah pantas agar kita
bersikap baik terhadapnya. Ada banyak sekali alasan untuk tidak bersikap baik
terhadap sesuatu. Tetapi kalau alasan-alasan khusus tidak ada, bukanlah orang
lain dan binatang, kucing, pohon kelapa, intan berlian, buaya di sungai, daun
pisang dan sapi di perumputan pantas semua agar kita bersikap baik terhadap
mereka.
Kita di sini menyadari sesuatu yang mendalam. Apa
saja yang ada pantas agar ada dan dengan demikian juga pantas disetujui, baik
dan menggembirakan. Filsafat Budha yang menghormati hak hidup segenap makhluk,
Platon yang menganggap yang baik sebagai idea
tertinggi dan ikatan kesatuan
ide-ide lainnya, filsafat Skolastik yang mengajar, bahwa apa yang ada sejauh
ada, benar dan baik, dan banyak aliran filsafat lainnya sadar akan kenyataan
itu.
Prinsip hormat
terhadap persona rupa-rupanya mengarah pada pelaksanaan nilai yang lain.
Kita ingat bahwa prinsip itu hanya berlaku bagi makhluk yang berakal budi dan
bahwa fungsinya adalah menjamin agar satu orang pun jangan sampai dijadikan
sarana atau alat saja demi tujuan lain. Nilai yang mau dijamin oleh prinsip ini
adalah nilai tak terhingga setiap makhluk yang berakal budi, merupakan tujuan
pada dirinya sendiri. Tidak pernah ia boleh dipergunakan melulu sebagai alat
saja. Karena nilai setiap orang sebagai persona tak terhingga, maka seseorang
pun tak boleh dikorbankan demi pencapaian nilai lain. Itulah sebabnya hak yang
nyata seseorang pun tak boleh dikorbankan demi keuntungan seluruh masyarakat
lainnya, dan mengapa pendekatan utilitarisme menemukan batasnya pada tuntutan
keadilan. Kiranya nilai tak terhingga setiap persona manusiawi tidak dapat
dijamin kecuali manusia dipahami dalam dimensinya yang paling dalam: sebagai
makhluk alam satu-satunya yang terbuka bagi sapaan yang tak terhingga.
Tiga prinsip moral dasar nampaknya membuka mata
kita pada strutkur nilai yang hakiki dalam seluruh realitas: prinsip sikap-baik
mengacu pada nilai dari apa saja yang ada dan prinsip hormat terhadap persona
yang merangkum prinsip hormat terhadap diri sendiri mengacu pada nilai tak
terhingga setiap makluk yang berakal budi.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kata moral berasal dari
bahasa latin yakni Mores, Mores berasal dari kata mose yang berarti kesusilaan,
tabiat, atau kelakuaan. Dengan demikian moral dapat di asumsikan sebagai ajaran
kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan. Moral juga berarti
ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan yang kita lakukan, dari awal katanya
dapat disimpulkan bahwa moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan,
yang memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan, jadi perbuatan itu
dinilai dari perbuatan yang baik dan buruk.
Dengan kata lain moralitas memberikan kebebasan
kepada manusia mengenai aturan atau petunjuk kongkret tentang bagaimana ia
harus bertindak sebagai manusia yang baik serta bagaimana menghindari prilaku
yang seharusnya tidak dilakukan.
3.2 Saran
Sebagai
generasi bangsa yang berpendidikan dan bermoral maka diharapkan setiap individu
mempunyai tiga prinsip dasar ,yaitu prinsip sikap baik,prinsip keadilan,serta
prinsip hormat terhadap diri sendiri yang diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari .
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar